Berwibawa sekali sepertinya potongan-potongan kentang
seukuran korek api itu menyandang namanya. Tak pernah absen pula ia menyertakan
kehadirannya di berbagai kenduri dan pesta. Tidak ada yang tahu darimana ia mendapatkan
namanya, bahkan Sang Hyang Google yang dianggap maha tahu oleh pemujanya pun
tak sanggup menyingkap kelambu misteri riwayat penamaannya. Ribuan lidah
mungkin tak peduli; yang penting renyahnya terasa. Karena buat mereka bukan
arti yang dicari; melainkan kelezatan yang dinanti.
Yang terpilih atau “the
chosen one”, itulah arti dari kata Mustofa di bahasa asalnya, Arab. Sebuah makna
yang bernilai sepadan dengan tokoh ‘Neo’ yang jagonya nggak ketulungan di
trilogi film The Matrix. Sebuah istilah yang juga disematkan pada semua hal
yang dianggap digariskan oleh takdir. Gelar tertinggi yang melambangkan
supremasi dan keniscayaan. Dan entah mengapa, makna yang teramat berbobot ini
menemukan tempatnya di kumpulan potongan-potongan kecil kentang yang digoreng
serenyah,sekering dan seringan mungkin.
Bilapun dibuka kongres luar biasadi antara ahli-ahli kuliner
seantero alam raya, sepertinya sepakat tidak akan pernah tercapai untuk
menetapkannya sebagai olahan Kentang dengan kasta tertinggi. Pun, catatan
sejarah kerajaan-kerajaan agung negeri ini tidak ada satupun yang
menempatkannya sebagai hidangan kebesaran. Namun tetap saja ia adalah Kentang
Mustofa, Kentang Yang Terpilih. Yang walaupun tempatnya diujung akhir meja
hidangan, namun maknanya terbuki jauh lebih hebat dari Sate Kambing Muda, Iga Bakar,
Ayam Panggang, Gulai Kepala Kakap, atau hewan-hewan matang lainnya.
Tetap, misteri itu tidak terjawab. Walau pertanyaan itu
sudah beredar di berbagai obrolan berisik hajatan, dilantunkan ke beberapa
catering dan juru masak Kota Kembang, dan diketikan ke laman-laman pencari di
semesta jaringan digital. Alas,
coretan inipun sepertinya memang tidak mempunyai kekuatan untuk menyibak
riwayatnya.
Siapa tahu; Mustofa mungkin hanya sekedar nama dari ia yang
menciptakan komposisi lezat itu pada awalnya. Atau sesuatu yang terceletuk
begitu saja tanpa perlu ada latar belakang atau alasan. Yang pasti, terkadang
sebuah pertanyaan terbersit begitu saja di kepala, dan kita terbiasa
membuangnya seketika terasa tidak penting atau tidak dalam koridor wajar atau
“biasa”. Namun apakah kita akan selalu hidup hanya dengan menghirup penjelasan
yang kebetulan hinggap? Atau menelan bulat
buku manual yang disuapkan dan mutlak mengamini kata demi katanya?
Entahlah, setidaknya kalau saya sih masih menyisakan sedikit ruang di kepala
untuk kegiatan mempertanyakan. Karena dengan mempertanyakan maka kita akan
mencari tahu. Dan walau terkadang bukan jawaban yang dicapai, tapi terlebih, pencerahan yang didapat.
Walaupun itu untuk sesuatu yang se-absurd Kentang Mustofa.