Seks, Politik, dan Perempuan, tiga kata
yang mungkin membuat beberapa orang menghela nafas, menggaruk dagu dan tentunya
membayangkan 1001 imajinasi yang mungkin terlintas. Bukan hanya karena makna
dan korelasinya saja, ketiga hal tersebut diakui atau tidak juga banyak
mewarnai kehidupan dan keseharian masyarakat Indonesia. Bagi Mariska Lubis,
seorang penulis yang telah banyak dikenal lewat telisikannya tentang dunia
seks, ketiga kata itu memiliki banyak arti dan telah menginspirasinya untuk
menelurkan berbagai tulisan. Berbincang santai dengan Papparazi, Mariska berbagi
pandangannya tentang hal-hal menarik ini.
Dilahirkan di Kota kembang Bandung pada
tahun 1974, Mariska mengaku telah menulis sejak masih kecil, di usia 9 tahunan.
Banyak berpindah-pindah pada masa sekolahnya hingga ke Amerika dan Australia
dan telah menjalani berbagi profesi di beberapa perusahaan, kesenangannya
menulis telah menjadi lebih dari sekedar rutinitas, melainkan sesuatu yang
memberikan kesenangan.Kesenangannya menulis telah membawanya masuk ke berbagai
bidang kehidupan, karena menurut dia pada dasarnya dengan menulis kita akan
mempelajari semua hal.
Mariska menceritakan bahwa pada awalnya dia
memang lebih banyak menyoroti ke permasalahan sosial, budaya, dan politik.
Namun seiring banyaknya investigasi dan penelusuran yang dilakukan ternyata
banyak kasus-kasus yang berkaitan dengan seks. “Mau itu kasus militer,
pemerintahan, atau apapun itu pasti ada yang berkaitan dengan seks” ujarnya.
Penelusuran mendalam pun dilakukan hingga ke pengertian dasar dari kata dari
seks itu sendiri.
“Permasalahan itu timbul, ketika kata seks
itu hanya ditempatkan sebagai objek, padahal dia juga bisa menjadi subyek
ataupun predikat (dalam pengertian bahasa) karena dalam kamus pun, seks itu
hanya dikaitkan dengan gender” ujar Mariska. Itulah yang menyebabkan dalam
pandangan umum bahwa yang namanya seks itu identik dengan tabu atau tidak
pantas untuk diperbincangkan. Dia kemudian menambahkan bahwa menjadi tantangan
bagi dia untuk mengupas tentang seks yang selalu dijadikan obyek ini: “Seks
menjadi tabu ketika dia menjadi sangat sakral, sangat suci dan hanya
orang-orang yang terpilih, yang ‘hebat banget’, yang berjiwa besar yang boleh belajar tentang seks”. Pola pikir
ini lah yang berkembang terus menerus sehingga sakral dan tabu nya seks itu
hanya dianggap berkaitan dengan ‘porno’. “Karena hanya dijadikan obyek, maka
persepsinya terbentuk dari subyek yang membicarakannya, sehingga kebanyakan
orang banyak yang berpikir bahwa sakral dan tabunya itu karena porno.”
Tambahnya.
Pada saat seks ditempatkan sebagai subyek,
maka obyeknya bisa menjadi bermacam-macam, tidak sekedar porno atau tabu. “ketika
kita meletakan seks sebagai subyek, maka kita bisa mengutarakan hal-hal
seperti: seks adalah ilmu pengetahuan
atau seks adalah anugrah yang harus dihormati, maka persepsinya akan berubah”
tambah Mariska. Hal inilah yang mendorong Mariska untuk mengubah pola pikir
orang bahwa seks itu tidak selalu porno. Tidak dengan menggunakan kata-kata
yang halus seperti cinta atau romansa, dia lebih memilih untuk mengambil jalur
paling ekstrim dengan mengedepankan kata seks itu sendiri.
“Dan itu sebenarnya politik” itulah
ungkapan Mariska yang cukup membuat otak sedikit berputar. Mariska kemudian
menjelaskan pada hakekatnya politik adalah seni untuk mencapai tujuan, maka
dengan menggunakan istilah-istilah seks yang ekstrim, diharapkan pesan yang
ingin disampaikan dapat diterima dengan baik.
Lebih lanjut Mariska juga mengungkapkan ada
keterkaitan yang dekat antara seks dengan politik secara keseluruhan.” Banyak
sekali filsuf-filsuf yang membicarakan tentang seks, karena seks itu adalah
sebuah energy yang luar biasa yang berpengaruh pada kehidupan sehari-hari, pola
pikir, dan banyak hal lainnya” Ujar Mariska. Dia kemudian menambahkan” seperti
begini gampangnya, kamu tidak mendapat ciuman dari pasanganmu di pagi hari,
kemudian di kantor jadinya marah-marah” selorohnya. Ada efek psikologi-psikologis
dan energy dari seks ini begitu luar biasanya mempengaruhi kehidupan seseorang,
hanya saja seks ini begitu pribadi dan tertutup sehingga orang cenderung utnuk
menutupinya.
Begitu juga yang terjadi pada kehidupan
politik dalam skala kecil ataupun besar. “Presiden kita sempat ML (bercinta) nggak
sih?” sebuah pertanyaan menggelitik yang sempat di utarakan Mariska.
Pemikiran-pemikiran ini lah yang akhirnya mendorong Mariska untuk merilis
sebuah buku dengan judul “Wahai pemimpin bangsa!! Belajar dari seks dong!!!”.
Mariska mempunyai pemikiran bahwa seks
adalah awal dari kehidupan dan kehidupan itu sendiri.”Tidak ada yang tidak
berkaitan dengan seks agama, budaya, hukum, semua berkaitan dengan seks. Bahkan
tumbuhan pun melakukan seks” ujarnya. Seks adalah keseimbangan, dan ketika
keseimbangan ini tidak tercapai maka itulah yang menjadi akar dari berbagai
permasalahan yang timbul di berbagai bidang.
Satu hal juga yang mengalami nasib serupa
dan masih terlalu banyak ditempatkan sebagai obyek dalam struktur kebahasaan
dan juga di pandangan umum di Indonesia adalah perempuan. Ada sedikit ironi
ketika para perempuan Indonesia sendiri yang masih menempatkan diri mereka
sebagai obyek karena buday dan kebiasaan yang selama ini dipegang. “Di kita,
perempuan itu dibuat seolah-olah lemah tak berdaya, perlu dilindungi, dan
segala macamlah, sampai-sampai perlu adanya Kementrian Pemberdayaan Perempuan”
Papar Mariska. Seolah menyuarakan ketidaksetujuannya dengan pandangan umum
tersebut, Mariska kemudian melanjutkannya dengan pernyataan tegas “saya
perempuan berdaya, saya tidak perlu diberdayakan!!!!”.
Ada sedikit pandangan yang agak sedikit
terlewatkan ketika perempuan pada masa sekarang berbicara mengenai kesetaraan
gender atau emansipasi Perempuan. “Pandangan umum mengenai emansipasi yang
berlaku adalah perempuan itu harus berkarir, harus sekolah tinggi, baru dia
bisa dikatakan sebagai perempuan hebat, dan menurut saya pribadi itu bodoh
sekali” ujar Mariska. Kesuksesan perempuan itu harusnya tidak dinilai dari
hal-hal seperti itu semata tambahnya. Karena dididik dan dibiasakan dengan
pandangan seperti inilah yang akhirnya mendorong perempuan-perempuan Indonesia
ini mencari pengakuan diri bahwa dia itu
lebih hebat dari laki-laki, maka di banyak kasus ketika perempuan ini memiliki
karir atau kegiatan-kegiatan tertentu mereka lebih cenderung meremehakan
laki-laki, dan lebih parah lagi, keluarganya.
Persepsi umum yang menunjukan bahwa
emansipasi itu berhasil adalah ketika perempuan sudah bisa menduduki
posisi-posisi penting dalam masyarakat atau pekerjaan tidak akan ada artinya
ketika mereka tidak mengetahui jati diri mereka sendiri. Ketika mereka masih
belum bisa bersuara atau melakukan hal-hal yang murni berasal dari keinginan
mereka sendiri dan masih merujuk pada persepsi-persepsi umum mengenai
kesuksesan, kecantikan dan segala hal, maka perempuan-perempuan ini masih belum
mampu merdeka dari diri mereka sendiri. “Ketika perempuan masih menempatkan
dirinya sebagai objek, maka meskipun mereka berteriak tentang hak-hak dan
keadilan, pada sesungguhnya mereka masih belum bisa menaikan harkat dan
martabat mereka sendiri”, begitulah Mariska menyuarakannya.
Seks, politik, dan perempuan mungkin tiga
hal yang memiliki makna sendiri-sendiri. Ditangan Mariska Lubis, ketiga hal itu
bisa menjadi keseimbangan yang indah melalui tulisan-tulisannya. Sudut pandang
penulis yang satu ini mungkin agak sulit dicerna oleh beberapa pihak, tapi
setidaknya kejujurannya dalam menyuarakan hal-hal yang dianggap tabu atau
jarang diungkap bisa membuka mata kita dalam melihat kehidupan.