Selasa, 23 April 2013

Seks, Politik, Perempuan dan permainan bahasa Mariska Lubis

Seks, Politik, dan Perempuan, tiga kata yang mungkin membuat beberapa orang menghela nafas, menggaruk dagu dan tentunya membayangkan 1001 imajinasi yang mungkin terlintas. Bukan hanya karena makna dan korelasinya saja, ketiga hal tersebut diakui atau tidak juga banyak mewarnai kehidupan dan keseharian masyarakat Indonesia. Bagi Mariska Lubis, seorang penulis yang telah banyak dikenal lewat telisikannya tentang dunia seks, ketiga kata itu memiliki banyak arti dan telah menginspirasinya untuk menelurkan berbagai tulisan. Berbincang santai dengan Papparazi, Mariska berbagi pandangannya tentang hal-hal menarik ini.

Dilahirkan di Kota kembang Bandung pada tahun 1974, Mariska mengaku telah menulis sejak masih kecil, di usia 9 tahunan. Banyak berpindah-pindah pada masa sekolahnya hingga ke Amerika dan Australia dan telah menjalani berbagi profesi di beberapa perusahaan, kesenangannya menulis telah menjadi lebih dari sekedar rutinitas, melainkan sesuatu yang memberikan kesenangan.Kesenangannya menulis telah membawanya masuk ke berbagai bidang kehidupan, karena menurut dia pada dasarnya dengan menulis kita akan mempelajari semua hal.

Mariska menceritakan bahwa pada awalnya dia memang lebih banyak menyoroti ke permasalahan sosial, budaya, dan politik. Namun seiring banyaknya investigasi dan penelusuran yang dilakukan ternyata banyak kasus-kasus yang berkaitan dengan seks. “Mau itu kasus militer, pemerintahan, atau apapun itu pasti ada yang berkaitan dengan seks” ujarnya. Penelusuran mendalam pun dilakukan hingga ke pengertian dasar dari kata dari seks itu sendiri.

“Permasalahan itu timbul, ketika kata seks itu hanya ditempatkan sebagai objek, padahal dia juga bisa menjadi subyek ataupun predikat (dalam pengertian bahasa) karena dalam kamus pun, seks itu hanya dikaitkan dengan gender” ujar Mariska. Itulah yang menyebabkan dalam pandangan umum bahwa yang namanya seks itu identik dengan tabu atau tidak pantas untuk diperbincangkan. Dia kemudian menambahkan bahwa menjadi tantangan bagi dia untuk mengupas tentang seks yang selalu dijadikan obyek ini: “Seks menjadi tabu ketika dia menjadi sangat sakral, sangat suci dan hanya orang-orang yang terpilih, yang ‘hebat banget’, yang berjiwa besar  yang boleh belajar tentang seks”. Pola pikir ini lah yang berkembang terus menerus sehingga sakral dan tabu nya seks itu hanya dianggap berkaitan dengan ‘porno’. “Karena hanya dijadikan obyek, maka persepsinya terbentuk dari subyek yang membicarakannya, sehingga kebanyakan orang banyak yang berpikir bahwa sakral dan tabunya itu karena porno.” Tambahnya.

Pada saat seks ditempatkan sebagai subyek, maka obyeknya bisa menjadi bermacam-macam, tidak sekedar porno atau tabu. “ketika kita meletakan seks sebagai subyek, maka kita bisa mengutarakan hal-hal seperti:  seks adalah ilmu pengetahuan atau seks adalah anugrah yang harus dihormati, maka persepsinya akan berubah” tambah Mariska. Hal inilah yang mendorong Mariska untuk mengubah pola pikir orang bahwa seks itu tidak selalu porno. Tidak dengan menggunakan kata-kata yang halus seperti cinta atau romansa, dia lebih memilih untuk mengambil jalur paling ekstrim dengan mengedepankan kata seks itu sendiri.

“Dan itu sebenarnya politik” itulah ungkapan Mariska yang cukup membuat otak sedikit berputar. Mariska kemudian menjelaskan pada hakekatnya politik adalah seni untuk mencapai tujuan, maka dengan menggunakan istilah-istilah seks yang ekstrim, diharapkan pesan yang ingin disampaikan dapat diterima dengan baik.

Lebih lanjut Mariska juga mengungkapkan ada keterkaitan yang dekat antara seks dengan politik secara keseluruhan.” Banyak sekali filsuf-filsuf yang membicarakan tentang seks, karena seks itu adalah sebuah energy yang luar biasa yang berpengaruh pada kehidupan sehari-hari, pola pikir, dan banyak hal lainnya” Ujar Mariska. Dia kemudian menambahkan” seperti begini gampangnya, kamu tidak mendapat ciuman dari pasanganmu di pagi hari, kemudian di kantor jadinya marah-marah” selorohnya. Ada efek psikologi-psikologis dan energy dari seks ini begitu luar biasanya mempengaruhi kehidupan seseorang, hanya saja seks ini begitu pribadi dan tertutup sehingga orang cenderung utnuk menutupinya.

Begitu juga yang terjadi pada kehidupan politik dalam skala kecil ataupun besar. “Presiden kita sempat ML (bercinta) nggak sih?” sebuah pertanyaan menggelitik yang sempat di utarakan Mariska. Pemikiran-pemikiran ini lah yang akhirnya mendorong Mariska untuk merilis sebuah buku dengan judul “Wahai pemimpin bangsa!! Belajar dari seks dong!!!”.

Mariska mempunyai pemikiran bahwa seks adalah awal dari kehidupan dan kehidupan itu sendiri.”Tidak ada yang tidak berkaitan dengan seks agama, budaya, hukum, semua berkaitan dengan seks. Bahkan tumbuhan pun melakukan seks” ujarnya. Seks adalah keseimbangan, dan ketika keseimbangan ini tidak tercapai maka itulah yang menjadi akar dari berbagai permasalahan yang timbul di berbagai bidang.

Satu hal juga yang mengalami nasib serupa dan masih terlalu banyak ditempatkan sebagai obyek dalam struktur kebahasaan dan juga di pandangan umum di Indonesia adalah perempuan. Ada sedikit ironi ketika para perempuan Indonesia sendiri yang masih menempatkan diri mereka sebagai obyek karena buday dan kebiasaan yang selama ini dipegang. “Di kita, perempuan itu dibuat seolah-olah lemah tak berdaya, perlu dilindungi, dan segala macamlah, sampai-sampai perlu adanya Kementrian Pemberdayaan Perempuan” Papar Mariska. Seolah menyuarakan ketidaksetujuannya dengan pandangan umum tersebut, Mariska kemudian melanjutkannya dengan pernyataan tegas “saya perempuan berdaya, saya tidak perlu diberdayakan!!!!”.

Ada sedikit pandangan yang agak sedikit terlewatkan ketika perempuan pada masa sekarang berbicara mengenai kesetaraan gender atau emansipasi Perempuan. “Pandangan umum mengenai emansipasi yang berlaku adalah perempuan itu harus berkarir, harus sekolah tinggi, baru dia bisa dikatakan sebagai perempuan hebat, dan menurut saya pribadi itu bodoh sekali” ujar Mariska. Kesuksesan perempuan itu harusnya tidak dinilai dari hal-hal seperti itu semata tambahnya. Karena dididik dan dibiasakan dengan pandangan seperti inilah yang akhirnya mendorong perempuan-perempuan Indonesia ini mencari pengakuan diri  bahwa dia itu lebih hebat dari laki-laki, maka di banyak kasus ketika perempuan ini memiliki karir atau kegiatan-kegiatan tertentu mereka lebih cenderung meremehakan laki-laki, dan lebih parah lagi, keluarganya.
Persepsi umum yang menunjukan bahwa emansipasi itu berhasil adalah ketika perempuan sudah bisa menduduki posisi-posisi penting dalam masyarakat atau pekerjaan tidak akan ada artinya ketika mereka tidak mengetahui jati diri mereka sendiri. Ketika mereka masih belum bisa bersuara atau melakukan hal-hal yang murni berasal dari keinginan mereka sendiri dan masih merujuk pada persepsi-persepsi umum mengenai kesuksesan, kecantikan dan segala hal, maka perempuan-perempuan ini masih belum mampu merdeka dari diri mereka sendiri. “Ketika perempuan masih menempatkan dirinya sebagai objek, maka meskipun mereka berteriak tentang hak-hak dan keadilan, pada sesungguhnya mereka masih belum bisa menaikan harkat dan martabat mereka sendiri”, begitulah Mariska menyuarakannya.

Seks, politik, dan perempuan mungkin tiga hal yang memiliki makna sendiri-sendiri. Ditangan Mariska Lubis, ketiga hal itu bisa menjadi keseimbangan yang indah melalui tulisan-tulisannya. Sudut pandang penulis yang satu ini mungkin agak sulit dicerna oleh beberapa pihak, tapi setidaknya kejujurannya dalam menyuarakan hal-hal yang dianggap tabu atau jarang diungkap bisa membuka mata kita dalam melihat kehidupan.

Minggu, 24 Maret 2013

Kenapa Kentang itu bernama Mustofa?



Berwibawa sekali sepertinya potongan-potongan kentang seukuran korek api itu menyandang namanya. Tak pernah absen pula ia menyertakan kehadirannya di berbagai kenduri dan pesta. Tidak ada yang tahu darimana ia mendapatkan namanya, bahkan Sang Hyang Google yang dianggap maha tahu oleh pemujanya pun tak sanggup menyingkap kelambu misteri riwayat penamaannya. Ribuan lidah mungkin tak peduli; yang penting renyahnya terasa. Karena buat mereka bukan arti yang dicari; melainkan kelezatan yang dinanti.

Yang terpilih atau “the chosen one”, itulah arti dari kata Mustofa di bahasa asalnya, Arab. Sebuah makna yang bernilai sepadan dengan tokoh ‘Neo’ yang jagonya nggak ketulungan di trilogi film The Matrix. Sebuah istilah yang juga disematkan pada semua hal yang dianggap digariskan oleh takdir. Gelar tertinggi yang melambangkan supremasi dan keniscayaan. Dan entah mengapa, makna yang teramat berbobot ini menemukan tempatnya di kumpulan potongan-potongan kecil kentang yang digoreng serenyah,sekering dan seringan mungkin.

Bilapun dibuka kongres luar biasadi antara ahli-ahli kuliner seantero alam raya, sepertinya sepakat tidak akan pernah tercapai untuk menetapkannya sebagai olahan Kentang dengan kasta tertinggi. Pun, catatan sejarah kerajaan-kerajaan agung negeri ini tidak ada satupun yang menempatkannya sebagai hidangan kebesaran. Namun tetap saja ia adalah Kentang Mustofa, Kentang Yang Terpilih. Yang walaupun tempatnya diujung akhir meja hidangan, namun maknanya terbuki jauh lebih hebat dari Sate Kambing Muda, Iga Bakar, Ayam Panggang, Gulai Kepala Kakap, atau hewan-hewan matang lainnya.

Tetap, misteri itu tidak terjawab. Walau pertanyaan itu sudah beredar di berbagai obrolan berisik hajatan, dilantunkan ke beberapa catering dan juru masak Kota Kembang, dan diketikan ke laman-laman pencari di semesta jaringan digital. Alas, coretan inipun sepertinya memang tidak mempunyai kekuatan untuk menyibak riwayatnya.

Siapa tahu; Mustofa mungkin hanya sekedar nama dari ia yang menciptakan komposisi lezat itu pada awalnya. Atau sesuatu yang terceletuk begitu saja tanpa perlu ada latar belakang atau alasan. Yang pasti, terkadang sebuah pertanyaan terbersit begitu saja di kepala, dan kita terbiasa membuangnya seketika terasa tidak penting atau tidak dalam koridor wajar atau “biasa”. Namun apakah kita akan selalu hidup hanya dengan menghirup penjelasan yang kebetulan hinggap? Atau menelan bulat  buku manual yang disuapkan dan mutlak mengamini kata demi katanya? Entahlah, setidaknya kalau saya sih masih menyisakan sedikit ruang di kepala untuk kegiatan mempertanyakan. Karena dengan mempertanyakan maka kita akan mencari tahu. Dan walau terkadang bukan jawaban yang dicapai, tapi terlebih,  pencerahan yang didapat. 

Walaupun itu untuk sesuatu yang se-absurd Kentang Mustofa.